Khilafah dalam Islam, Ajaran Islam??
Hukum Adanya Khilafah dan Menegakkannya
Semua ulama’ kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya Khilafah ini adalah wajib. Jika Khilafah tidak ada, hukum menegakkannya bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib. Dasar kewajibannya tidak didasarkan pada akal atau kesepakatan manusia, tetapi wahyu. Berkaitan dengan ini, Imam as-Syafii menyatakan:
Seseorang tidak boleh menyatakan selamalamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (alHadis), Ijmak atau Qiyas.” [Lihat, Asy-Syafii, ArRisâlah, hlm. 39].
Senada dengan itu, Imam al-Ghazali juga menyatakan:
Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak dan Istinbâth (Qiyas).” [Lihat, Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, Juz II/273].
Karena itulah, para ulama’ kaum Muslim sepakat mengenai kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban untuk menegakkannya, ketika ia tidak ada. Dasarnya adalah wahyu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, baik berupa Ijmak Sahabat maupun Qiyas.
1. Dalil al-Quran
Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [Q.s. al-Baqarah [2]: 30].
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, AlQurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].
Dalil al-Quran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, AdDumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].
2. Dalil as-Sunnah
Di antaranya sabda Rasulullah saw.:
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [Hr. Muslim].
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh adDumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al- ‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].
Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda saw. harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi].
Nabi bersabda:
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [Hr. Muslim]
3. Dalil Ijmak Sahabat
Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as- Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Para ulama’ ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini,
Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:
“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” [Lihat, AshSarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].
Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan al-Qur’an atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, AshShawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].
Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:
“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam.
Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atau kewajiban menegakkan Khilafah [Lihat, Syaikh adDumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl asSunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].
4. Kesepakatan Ulama Aswaja
Berdasarkan dalil-dalil di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama’ Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya Khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib.
Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan, “Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib alArba’ah, Juz V/416].
Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah alQadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri HT), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm alHukm fî al-Islâm, hlm. 248].
Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah.
Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
Bukti Historis Khilafah
Bukti tak terbantahkan tentang adanya Khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan dalam kitab-kitab Tarikh yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu hingga ulama’ mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari [w. 310 H], al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir [w. 606 H], al-Bidayah wa anNihayah, karya Ibn Katsir [w. 774 H], Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun [w. 808 H], Tarikh alKhulafa’, karya Imam as-Suyuthi [w. 911H], atTarikh al-Islami, Mahmud Syakir.
Dalam rentang sejarah, selama 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang Khalifah, dan Khilafah, kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 M. Mereka adalah:
A. Khilafah Rasyidah
1. Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632- 634 M)
2. ’Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3. ’Utsman bin ‘Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
4. ‘Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
5. ‘Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)
B. Khilafah Umayyah
6. Mu’awiyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
7. Yazid bin Mu’awiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
8. Mu’awiyah bin Yazid (tahun 64-68 H/683-684 M)
9. Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
10. ’Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-68 H/685- 705 M)
11. Walid bin ‘Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
12. Sulaiman bin ‘Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
13. ’Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
14. Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724 M)
15. Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
16. Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
17. Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
18. Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
19. Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)
C. Khilafah ‘Abbasiyyah
20. Abul ‘Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
21. Abu Ja’far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
22. Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
23. Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
24. Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
25. Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
26. Al-Ma’mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
27. Al-Mu’tashim Billah (tahun 218-228 H/833- 842 M)
28. Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
29. Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
30. Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
31. Al-Musta’in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
32. Al-Mu’taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
33. Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
34. Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
35. Al-Mu’tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
36. Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
37. Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)
38. Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
39. Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
40. Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
41. Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
42. Al-Muthi’ Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
43. Al-Thai’i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
44. Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
45. Al-Qa’im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
46. Al-Mu’tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
47. Al-Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
48. Al-Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
49. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
50. Al-Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160)
51. Al-Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160- 1170 M)
52. Al-Mustadhi’u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
53. An-Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
54. Adh-Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
55. Al-Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226- 1242 M)
56. Al-Mu’tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242- 1258 M)
57. Al-Mustanshir billah II (taun 660-661 H/1261- 1262 M)
58. Al-Haakim Biamrillah I ( tahun 661-701 H/1262-1302 M)
59. Al-Mustakfi Billah I (tahun 701-732 H/1302- 1334 M)
60. Al-Watsiq Billah I (tahun 732-742 H/1334- 1354 M)
61. Al-Haakim Biamrillah II (tahun 742-753 H/1343-1354 M)
62. Al-Mu’tadlid Billah I (tahun 753-763 H/1354- 1364 M)
63. Al-Mutawakkil ‘Alallah I (tahun 763-785 H/1363-1386 M)
64. Al-Watsir Billah II (tahun 785-788 H/1386- 1389 M)
65. Al-Mu’tashim (tahun 788-791 H/1389-1392 M)
66. Al-Mutawakkil ‘Alallah II (tahun 791-808 H/1392-14-9 M)
67. Al-Musta’in Billah (tahun 808-815 H/ 1409-1426 M)
68. Al-Mu’tadlid Billah II (tahun 815-845 H/1416-1446 M)
69. Al-Mustakfi Billah II (tahun 845-854 H/1446-1455 M)
70. Al-Qa’im Biamrillah (tahun 754-859 H/1455-1460 M)
71. Al-Mustanjid Billah (tahun 859-884 H/1460-1485 M)
72. Al-Mutawakkil ‘Alallah (tahun 884-893 H/1485-1494 M)
73. Al-Mutamasik Billah (tahun 893-914 H/1494-1515 M)
74. Al-Mutawakkil ‘Alallah OV (tahun 914-918 H/1515-1517 M)
D. Khilafah Utsmaniyyah
75. Salim I (tahun 918-926 H/1517-1520 M)
76. Sulaiman al-Qanuni (tahun 916-974 H/1520-1566 M)
77. salim II (tahun 974-982 H/1566-1574 M)
78. Murad III (tahun 982-1003 H/1574-1595 M)
79. Muhammad III (tahun 1003-1012 H/1595-1603 M)
80. Ahmad I (tahun 1012-1026 H/1603-1617 M)
81. Musthafa I (tahun 1026-1027 H/1617-1618 M)
82. ‘Utsman II (tahun 1027-1031 H/1618-1622 M)
83. Musthafa I (tahun 1031-1032 H/1622-1623 M)
84. Murad IV (tahun 1032-1049 H/1623-1640 M)
85. Ibrahim I (tahun 1049-1058 H/1640-1648 M)
86. Mohammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M)
87. Sulaiman II (tahun 1099-1102 H/1687-1691M)
88. Ahmad II (tahun 1102-1106 H/1691-1695 M)
89. Musthafa II (tahun 1106-1115 H/1695-1703 M)
90. Ahmad II (tahun 1115-1143 H/1703-1730 M)
91. Mahmud I (tahun 1143-1168/1730-1754 M)
92. ‘Utsman III (tahun 1168-1171 H/1754-1757 M)
93. Musthafa II (tahun 1171-1187H/1757-1774 M)
94. ‘Abdul Hamid (tahun 1187-1203 H/1774-1789 M)
95. Salim III (tahun 1203-1222 H/1789-1807 M)
96. Musthafa IV (tahun 1222-1223 H/1807-1808 M)
97. Mahmud II (tahun 1223-1255 H/1808-1839 M)
98. ‘Abdul Majid I (tahun 1255-1277 H/1839-1861 M)
99. ‘Abdul ‘Aziz I (tahun 1277-1293 H/1861-1876 M)
100. Murad V (tahun 1293-1293 H/1876-1876 M)
101. ‘Abdul Hamid II (tahun 1293-1328 H/1876-1909 M)
102. Muhammad Risyad V (tahun 1328-1339 H/1909-1918 M)
103. Muhammad Wahiddin II (tahun 1338-1340 H/1918-1922 M)
104. ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M
Dalam sepanjang sejarah Khilafah, tidak ada satu pun hukum yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan, baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, semuanya merupakan sistem Islam. Inilah Khilafah yang diakui oleh kaum Muslim di seluruh dunia sebagai negara mereka.
Karena itu, menurut Syaikh Dr. Musthafa Hilmi, dalam tesis masternya di Universitas Alexandria, Mesir, Nadhariyyatu al-Imamah ‘Inda Ahli asSunnah wa al-Jama’ah [1387 H/1967 M], setelah memaparkan fakta Negara Islam sejak zaman Nabi, Khilafah Rasyidah, Umayyah, ‘Abbasiyah hingga ‘Utsmaniyyah, akhirnya sampai pada...
Baca Juga:
Kesimpulan:
Pertama, pemikiran Sunni menentang penghapusan Khilafah. Karena itu, Ahlussunnah wal jamaah memegang teguh pendirian mereka, dengan cara yang sama sejak awal, membela dan mempertahankan Islam menghadapi berbagai gempuran yang berlangsung dalam rentang sejarah panjang umat Islam.
Kedua, Khilafah yang menerapkan Islam tetap ada hingga runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah. Inilah yang menjadi alasan utama permusuhan Barat terhadap Khilafah ‘Utsmaniyah, sebab selama ia masih ada, maka sistem Islam pun tetap ada.
Dengan adanya sistem pemerintahan Islam ini, maka suatu saat bisa kembali menguasai dunia, sehingga Eropa pun takut sejarah kejayaan umat Islam akan kembali dalam naungan Khilafah.
Karena itu, hanya ada satu kata, menghilangkan Khilafah, dan menghalangi tegaknya kembali. [Lihat, Dr. Musthafa Hilmi, Nidzam al-Khilafah fi alFikri al-Islami, hal. 457] Jadi, jelas Khilafah adalah ajaran Islam
Post a Comment for "Khilafah dalam Islam, Ajaran Islam??"