Indonesia Butuh Tenaga Listrik Ramah Lingkungan Dibanding Batu Bara
76 tahun Indonesia merdeka. Tapi sampai sekarang, masih ada daerah yang belum terhubung listrik. Rasio elektrifikasi nasional memang belum 100% dan ditargetkan baru terpenuhi tahun depan.
Besarnya populasi dan kondisi kepulauan Indonesia pun menjadi tantangan tersendiri dalam pemenuhan target ini.Saat ini, sumber energi listrik Indonesia masih didominasi batu bara, sehingga PLTU terus menyumbang emisi karbon besar-besaran. Target 23% bauran energi pun berjalan lambat, dan masih dibawah rerata jika dibandingkan dengan tetangga.
Dari 10 proyek energi terbesar ASEAN, Indonesia bahkan adalah satu-satunya negara pembangun PLTU baru. Sebenarnya, pemerintah sudah mulai berencana mempensiunkan beberapa PLTU sambil meningkatkan kapasitas EBT kedepannya, agar mimpi netralitas karbon Indonesia di 2060 bisa terealisasi.
Tapi, Indonesia dan 4 negara lain yang mengoperasikan 75% PLTU dunia malah berencana untuk terus membangun PLTU baru. Pemerintah memang akan mulai mengharamkan PLTU baru, tapi ini hanya berlaku untuk 54 pembangkit belum berkontrak, sedangkan 44 PLTU baru berkapasitas 16 giga watt ditargetkan mulai beroperasi hingga 2030.
Alhasil, Indonesia terus masuk ke dalam 10 besar penghasil emisi CO2 dunia. Padahal di Perjanjian Paris, pemerintah sudah menjanjikan komitmen besar pengurangan emisi gas rumah kaca per 2030.
Bagaimanapun, sebagai salah satu eksportir terbesar dunia, batu bara adalah komoditas ekspor andalan Indonesia. Ketika harganya menggila tahun ini, batu bara secara signifikan membantu menerbangkan kinerja ekspor Indonesia.
Bagi negara berkembang, trade off antara pemulihan lingkungan dan pembangunan ekonomi memang lebih sulit diseimbangkan. Realitanya, untuk beberapa dekade ke depan, pertumbuhan berbasis energi batu bara mungkin akan tetap diprioritaskan, karena harganya yang terjangkau dan besarnya ketersediaan.
Sedangkan EBT masih belum sepenuhnya dikembangkan, masih terpengaruh berbagai variabel, sehingga tidak stabil. Listrik hanya bisa dihasilkan ketika angin bertiup atau matahari bersinar sepanjang hari.
Teknologi pembangkitan listrik dari EBT memang semakin murah belakangan ini, tapi terkadang, pembahasan harga cenderung mengesampingkan faktor ketidakpastian alam tadi, terutama di daerah terpencil.
Mungkin sudah saatnya dunia mengakui bahwa negara berkembang tidak dapat begitu saja memprioritaskan isu-isu perubahan iklim di atas perkembangan ekonominya.
Bahkan menurut RRT, negara berkembang berhak meniru strategi lama negara Barat yang menghasilkan emisi karbon dalam proses perkembangan ekonominya untuk mengurangi kemiskinan.
Rasanya, pendekatan negara maju dan berkembang berbeda. Mungkin target netralitas karbon bisa dicapai tanpa sepenuhnya menggunakan EBT, melainkan menggunakan kombinasi teknologi untuk hasil yang terbaik.
Pengalaman RRT dalam mengimplementasikan kebijakan batu bara yang inklusif dan pemahaman kontribusinya terhadap proses transisi dapat dijadikan pembelajaran.
Setelah air-pocalypse Beijing di 2013, RRT menindak keras perusahaan penghasil gas rumah kaca (GRK) dan menggunakan teknologi hijau demi mencapai target netralitas karbonnya di 2060.
Memang kapasitas produksi listrik dari batu baranya tetap ditingkatkan beberapa tahun ke depan. Tapi dengan teknologi, PLTU-PLTU kecil akan mulai digantikan PLTU baru berkapasitas lebih besar tapi efisien, sehingga konsumsi batubara berkurang.
Clean coal technology adalah solusi inovatif yang bisa menjadi alternatif selama transisi, pembangunan yang berkelanjutan, sambil memastikan keamanan dan keterjangkauan energi.
Teknologi ini berfokus pada peningkatan efisiensi dari setiap ton batubara, sehingga listrik berjumlah sama bisa diproduksi dari batu bara yang lebih sedikit.
Alhasil, emisi yang dihasilkan berkurang, meski tidak bisa hilang total. Dunia pun sekarang sudah memiliki berbagai jenis teknologi clean coal,ndan beberapa sudah mulai diuji coba di Indonesia.
Aplikasi CCT ini pun penting karena mayoritas batubara Indonesia memiliki kadar air bawaan yang tinggi, sehingga nilai kalor dan kualitasnya rendah. Artinya, listrik dari batubara Indonesia menghasilkan lebih banyak emisi per unitnya.
Teknologi coal upgrading pun mulai digunakan agar batubara Indonesia lebih efisien dan bernilai lebih. Ada juga teknologi CCS yang sudah diuji coba di Gundih, dan merupakan proyek CCS pertama Asia Tenggara.
Dalam proses peralihan ini, teknologi EBT lainnya juga mulai diterapkan, seperti PV surya bertenaga air terapung di PLTS Cirata. Tapi, skala pengaplikasiannya memang masih kecil dibandingkan produksi listrik batu bara. Pasalnya, sebagai salah satu negara berpopulasi terbesar, dunia bergantung pada keberhasilan lingkungan Indonesia.
Meski pemerintah terus memberi sinyal kuat, janjinya juga harus didukung langkah nyata. Namun, mengingat kecanduan Indonesia pada batubara dan kebutuhan untuk memproduksi energi terjangkau, apakah peralihan ke EBT akan semudah itu?
Baca juga: Kualitas Tenaga Kerja Di Indonesia Yang Masih Rendah
Yah, kita dokan saja. Semoga energi listrik bisa lebih ramah lingkungan dan pemakaian sumber daya alam bisa tersalurkan dengan baik.
Yah, kita dokan saja. Semoga energi listrik bisa lebih ramah lingkungan dan pemakaian sumber daya alam bisa tersalurkan dengan baik.
Post a Comment for "Indonesia Butuh Tenaga Listrik Ramah Lingkungan Dibanding Batu Bara"