Indonesia Menghadapi Industri 4.0, Siapkah?
Sekarang, sistem perekonomian global sudah memasuki era Industri 4.0. Industri modern sudah berskala masif, dengan kecepatan jauh dari sebelumnya dan didukung teknologi automasi dan rekayasa intelijen.
Digitalisasi ini telah mengubah pola produksi, distribusi, dan konsumsi global. Indonesia pun sudah menyusun strategi untuk mewujudkan kesiapan memasuki era ini, melalui program Making Indonesia 4.0.Beberapa sektor kompetitif dengan potensi ekspor pun ditetapkan pemerintah sebagai prioritas motor pertumbuhan. Jika terwujud, program ini akan melipatgandakan produktivitas tenaga kerja, daya saing, dan pangsa pasar ekspor.
Tapi, masyarakat Indonesia masih bergantung pada pekerjaan berketerampilan rendah sebagai tonggak hidup. Padahal transisi ini akan membutuhkan pekerja berketerampilan tinggi.
Apakah Indonesia Siap Dengan Industri 4.0?
Dengan sumber daya manusia yang ada sekarang, bagaimana Indonesia dapat memenuhi keperluan ini?Lima tahun belakangan, angka pengangguran Indonesia memang terus menurun, mengindikasikan peningkatan pasokan tenaga kerja. Namun, hal ini tidak menyorot rendahnya kualitas angkatan kerja.
Terlihat dari tingginya proporsi pekerjaan rentan pada angka 47% di tahun 2020 bahwa pasar ketenagakerjaan Indonesia masih terhambat. Tingginya dominasi pekerjaan berketerampilan rendah menunjukkan pendapatan yang tidak memadai, produktivitas di bawah level optimal, dan kualitas kerja rendah.
Rendahnya tingkat pendidikan kemudian mempengaruhi tingkat produktivitas angkatan kerja Indonesia, yang sampai saat ini masih berada dibawah rata-rata negara ASEAN.
Tantangan pun bertambah seiring penurunan laju ekonomi selama pandemi karena pelaku industri terpaksa memangkas tenaga kerja. Kalau di Indonesia karena masih banyak manualnya, sehingga tergantung diri kita sendiri mengaturnya, tapi dampaknya, menjadi rendah terhadap produktivitas.
Masih ada juga ketimpangan antara perkembangan ekonomi dengan tenaga kerja di Indonesia yang masih ada di era industri kedua. Salah satu penyebab rendahnya kualitas angkatan kerja Indonesia adalah sistem pendidikan yang selama ini kurang optimal.
Walaupun beberapa indikator pendidikan terus membaik, komposisi angkatan kerja Indonesia terus didominasi pekerja berpendidikan rendah. Padahal untuk mencapai target menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030, Indonesia masih kekurangan 58 juta tenaga terlatih.
Terlebih lagi, masih ada ketidakcocokan struktural antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri 4.0. Walaupun ada 128 juta lapangan pekerjaan baru di tahun 2019, hanya 3 dari 10 orang mampu memenuhi kebutuhan industri.
Baca juga: Kualitas Tenaga Kerja Di Indonesia Yang Masih Rendah
Akibatnya, alokasi sumber daya dan daya saing tenaga kerja menjadi tidak optimal. Pembenahan sinergi antara kebutuhan industri dan pendidikan pun menjadi kian mendesak.
Mulai dari tahun 2030, Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi. Namun, sensus penduduk 2020 mengindikasikan bahwa tingginya jumlah usia produktif berpotensi membuat puncak bonus demografi terjadi lebih cepat.
Ketika populasi negara-negara lain menua, 70% penduduk Indonesia justru akan berada dalam usia produktif. Depnaker, sebagai regulator, telah menyiapkan strategi untuk tetap bisa berperan dalam proses link and match.
Untuk memperbanyak lulusan siap kerja yang terampil, pemerintah berfokus pada pendidikan SMK. Nyatanya, bertambahnya lulusan SMK tidak dibarengi dengan serapan dari industri, karena kurikulum yang digunakan tidak lagi cocok dengan dunia kerja.
Dampaknya, tingkat pengangguran saat ini didominasi lulusan SMK. Menurut INDEF, konsep vokasi SMK perlu didefinisikan ulang agar tidak hanya berarti kejuruan. Disisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia berpendapat, keterbatasan dukungan dana dari pemerintahlah yang menyebabkan kurang berkembangnya kualitas tenaga kerja.
Jika industri dan pendidikan tidak berjalan berdampingan, maka dikhawatirkan jumlah pengangguran terdidik akan terus meningkat. Kalau misalnya pekerjanya itu tidak sesuai dengan keadaan industri, maka jelas itu akan menjadi masalah dalam perkembangan ekonomi.
Tidak bisa mengisi di kebutuhan industri. Untuk meningkatkan peran swasta dalam akselerasi kualitas SDM, dukungan insentif pun diberikan oleh pemerintah bagi pelaku industri yang menjalankan program link and match.
Salah satunya adalah Sinar Mas melalui Eka Tjipta Foundation, yang pada 2019, menghadirkan Politeknik Sinar Mas Berau Coal, dengan sistem pembelajaran ganda, yang melibatkan langsung praktisi industri.
Mahasiswa pun berkesempatan mendapatkan pengalaman langsung di industri pertambangan. Hal serupa juga dilakukan Kalbe Farma melalui Kalbis Institute, yang berfokus pada pelatihan SDM industri kesehatan.
Banyak juga perusahaan yang memilih bekerja sama langsung dengan sekolah kejuruan Kemenperin. Samora Group Indonesia misalnya, bekerja sama dengan Politeknik AKA Bogor sejak 2019 terkait penjaminan mutu industri pangan analisis kimia, dan pengolahan limbah industri.
Di sektor otomotif, terdapat Toyota Indonesia Academy yang dirancang untuk merespon kebutuhan ketenagakerjaan jangka panjang di tengah cepatnya perubahan industri.
TIA mengkombinasikan kurikulum nasional dengan instruktur berkualitas hasil didikan Jepang, dan sejauh ini telah mendidik 5 angkatan kerja yang hampir seluruhnya terserap industri.
Di berbagai perusahaan yang mempekerjakan mereka, termasuk Toyota Indonesia, lulusan TIA terbukti mampu berkontribusi terhadap efisiensi bisnis, yang memang merupakan fokus pendidikan TIA.
Adaptasi industri 4.0 tentunya dibarengi ketakutan mengenai potensi hilangnya pekerjaan. Idealnya, teknologi yang sekarang sudah sangat terjangkau, hadir sebagai pelengkap manusia.
Namun, konsekuensi muncul ketika penerapan teknologi secara langsung mengakibatkan hilangnya pekerjaan. Ada konsensus bahwa fleksibilitas dan peningkatan keterampilan tenaga kerja sangat dibutuhkan untuk beradaptasi dengan kebutuhan masa depan.
Awalnya, teknologi memang akan mengganggu pasar ketenagakerjaan saat ini. Namun kedepannya, penerapan teknologi akan mendorong permintaan konsumen untuk produk, layanan, dan industri baru yang lebih inovatif.
Ekspansi inilah yang akan menciptakan lapangan kerja baru yang lebih produktif dan berkualitas. Kementerian Ketenagakerjaan sendiri sudah merumuskan 9 fokus untuk menghadapi tantangan ini, termasuk mentransformasi Balai Latihan Kerja.
BLK yang semula hanya menjalankan program dasar, sudah mulai bergeser ke program unggulan, didukung oleh infrastruktur yang sesuai dengan perkembangan teknologi.
Lulusan BLK pun diharapkan mampu memiliki kompetensi dan etos kerja yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Pertumbuhan yang berkelanjutan hanya akan terjadi jika semua aspek ekonomi bergerak dengan seimbang.
Artinya, penciptaan lapangan pekerjaan harus dibarengi dengan peningkatan produktivitas, agar upah pendapatan terus membaik dan tidak hanya menguntungkan mereka yang sudah memiliki pekerjaan.
Prioritas pemerintah 5 tahun kedepan diarahkan untuk pembangunan SDM, infrastruktur, sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah, penyederhanaan regulasi dan transformasi ekonomi melalui pengoptimalan sumber daya alam dan manusia.
Di sisi lain, agar lulusan pendidikan Indonesia dapat dimanfaatkan dengan baik, pemangku kepentingan perlu mengembangkan program link and match yang dibarengi dengan kecocokan antara materi pendidikan dengan kebutuhan industri.
Akibatnya, alokasi sumber daya dan daya saing tenaga kerja menjadi tidak optimal. Pembenahan sinergi antara kebutuhan industri dan pendidikan pun menjadi kian mendesak.
Mulai dari tahun 2030, Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi. Namun, sensus penduduk 2020 mengindikasikan bahwa tingginya jumlah usia produktif berpotensi membuat puncak bonus demografi terjadi lebih cepat.
Ketika populasi negara-negara lain menua, 70% penduduk Indonesia justru akan berada dalam usia produktif. Depnaker, sebagai regulator, telah menyiapkan strategi untuk tetap bisa berperan dalam proses link and match.
Untuk memperbanyak lulusan siap kerja yang terampil, pemerintah berfokus pada pendidikan SMK. Nyatanya, bertambahnya lulusan SMK tidak dibarengi dengan serapan dari industri, karena kurikulum yang digunakan tidak lagi cocok dengan dunia kerja.
Dampaknya, tingkat pengangguran saat ini didominasi lulusan SMK. Menurut INDEF, konsep vokasi SMK perlu didefinisikan ulang agar tidak hanya berarti kejuruan. Disisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia berpendapat, keterbatasan dukungan dana dari pemerintahlah yang menyebabkan kurang berkembangnya kualitas tenaga kerja.
Jika industri dan pendidikan tidak berjalan berdampingan, maka dikhawatirkan jumlah pengangguran terdidik akan terus meningkat. Kalau misalnya pekerjanya itu tidak sesuai dengan keadaan industri, maka jelas itu akan menjadi masalah dalam perkembangan ekonomi.
Tidak bisa mengisi di kebutuhan industri. Untuk meningkatkan peran swasta dalam akselerasi kualitas SDM, dukungan insentif pun diberikan oleh pemerintah bagi pelaku industri yang menjalankan program link and match.
Salah satunya adalah Sinar Mas melalui Eka Tjipta Foundation, yang pada 2019, menghadirkan Politeknik Sinar Mas Berau Coal, dengan sistem pembelajaran ganda, yang melibatkan langsung praktisi industri.
Mahasiswa pun berkesempatan mendapatkan pengalaman langsung di industri pertambangan. Hal serupa juga dilakukan Kalbe Farma melalui Kalbis Institute, yang berfokus pada pelatihan SDM industri kesehatan.
Banyak juga perusahaan yang memilih bekerja sama langsung dengan sekolah kejuruan Kemenperin. Samora Group Indonesia misalnya, bekerja sama dengan Politeknik AKA Bogor sejak 2019 terkait penjaminan mutu industri pangan analisis kimia, dan pengolahan limbah industri.
Di sektor otomotif, terdapat Toyota Indonesia Academy yang dirancang untuk merespon kebutuhan ketenagakerjaan jangka panjang di tengah cepatnya perubahan industri.
TIA mengkombinasikan kurikulum nasional dengan instruktur berkualitas hasil didikan Jepang, dan sejauh ini telah mendidik 5 angkatan kerja yang hampir seluruhnya terserap industri.
Di berbagai perusahaan yang mempekerjakan mereka, termasuk Toyota Indonesia, lulusan TIA terbukti mampu berkontribusi terhadap efisiensi bisnis, yang memang merupakan fokus pendidikan TIA.
Adaptasi industri 4.0 tentunya dibarengi ketakutan mengenai potensi hilangnya pekerjaan. Idealnya, teknologi yang sekarang sudah sangat terjangkau, hadir sebagai pelengkap manusia.
Namun, konsekuensi muncul ketika penerapan teknologi secara langsung mengakibatkan hilangnya pekerjaan. Ada konsensus bahwa fleksibilitas dan peningkatan keterampilan tenaga kerja sangat dibutuhkan untuk beradaptasi dengan kebutuhan masa depan.
Awalnya, teknologi memang akan mengganggu pasar ketenagakerjaan saat ini. Namun kedepannya, penerapan teknologi akan mendorong permintaan konsumen untuk produk, layanan, dan industri baru yang lebih inovatif.
Ekspansi inilah yang akan menciptakan lapangan kerja baru yang lebih produktif dan berkualitas. Kementerian Ketenagakerjaan sendiri sudah merumuskan 9 fokus untuk menghadapi tantangan ini, termasuk mentransformasi Balai Latihan Kerja.
BLK yang semula hanya menjalankan program dasar, sudah mulai bergeser ke program unggulan, didukung oleh infrastruktur yang sesuai dengan perkembangan teknologi.
Lulusan BLK pun diharapkan mampu memiliki kompetensi dan etos kerja yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Pertumbuhan yang berkelanjutan hanya akan terjadi jika semua aspek ekonomi bergerak dengan seimbang.
Artinya, penciptaan lapangan pekerjaan harus dibarengi dengan peningkatan produktivitas, agar upah pendapatan terus membaik dan tidak hanya menguntungkan mereka yang sudah memiliki pekerjaan.
Prioritas pemerintah 5 tahun kedepan diarahkan untuk pembangunan SDM, infrastruktur, sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah, penyederhanaan regulasi dan transformasi ekonomi melalui pengoptimalan sumber daya alam dan manusia.
Di sisi lain, agar lulusan pendidikan Indonesia dapat dimanfaatkan dengan baik, pemangku kepentingan perlu mengembangkan program link and match yang dibarengi dengan kecocokan antara materi pendidikan dengan kebutuhan industri.
Baca juga: Indonesia Butuh Tenaga Listrik Ramah Lingkungan Dibanding Batu Bara
Sehingga, usaha pihak swasta maupun pemerintah mampu menjawab tantangan ketenagakerjaan ini.
Sehingga, usaha pihak swasta maupun pemerintah mampu menjawab tantangan ketenagakerjaan ini.
Post a Comment for "Indonesia Menghadapi Industri 4.0, Siapkah?"