Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pro dan Kontra Formula E Jakarta: Untung atau Rugi?

 Sejak pertama diumumkan, penyelenggaraan Formula E Jakarta sudah menimbulkan kegaduhan. DPRD DKI pun mengkritisi habis-habisan rencana ini, menganggapnya sebagai ajang pemborosan uang, sampai memutuskan untuk melancarkan hak interpelasinya di Agustus lalu.

Pro dan Kontra Formula E Jakarta

Tidak lama kemudian, pemprov mencopot Dirut Jakpro, meski alasannya tidak jelas. Setelah bertemu dengan FIA di 2019, Gubernur Anies Baswedan mengumumkan Jakarta akan menjadi tuan rumah Formula E untuk 5 tahun, tapi sampai sekarang, tidak ada yang yakin balapannya akan terlaksana.

Katanya, potensi pendapatannya akan besar, sehingga beliau juga sudah mendapat dukungan dari presiden. Namun kemudian, BPK menemukan masalah dalam rencana pembiayaannya.

Meski dihadang berbagai drama politik, acara ini tetap dijadikan agenda prioritas daerah untuk 2022. Kenapa pemprov ngotot banget ya?

BPK melaporkan bahwa ternyata Pemprov DKI telah membayarkan beberapa komponen ke FIA senilai hampir Rp1 triliun. Biaya kedua komponen ini pun akan naik 10% setiap tahunnya.

Terlebih lagi, seluruh dana ini berasal dari APBD Jakarta, melalui anggaran Dinas Pemuda dan Olahraga dan PT. Jakpro sebagai penyelenggara. Pembagian pertanggungjawaban dan pengelolaan pendapatan antara berbagai pihak pun

belum jelas peraturannya, sehingga berisiko tumpang tindih.

Tidak ada juga upaya konkret untuk mendapatkan pendanaan mandiri dari sponsor. Alhasil, ketika balapan ditunda, banyak pihak mulai menuntut biaya yang sudah disetorkan untuk dikembalikan.

Akhirnya Jakpro bernegosiasi kembali dengan FIA dan pengembalian dana bank guarantee disetujui di Mei 2020. Tapi commitment fee tidak dapat dikembalikan.

Dalam studi kelayakan awal ePrix Jakarta untuk 5 tahun, Jakpro mengklaim potensi keuntungan bisa mencapai Rp3,12 triliun. Tapi ternyata, studi ini meninggalkan perhitungan komponen biaya tadi, yang ketika dihitung malah merugikan Jakarta.

Drama pembangunan sirkuit juga terus membayangi Formula E Jakarta. Awalnya, Pemprov DKI menempatkan 2 rute lintasan di sekitar Monas, yang akan ditinjau bersama oleh FIA, dan pembangunannya diperkirakan memakan waktu tiga bulan.

Namun, masalah timbul ketika Sekretariat Negara sebagai Komisi Pengarah Pembangunan Taman Medan Merdeka, menyatakan tidak memberikan izin karena area Monas merupakan cagar budaya.

Seminggu kemudian, Setneg kembali memberi persetujuan dengan syarat acaranya harus menaati aturan yang berlaku. Surat ajakan diskusi pun dikirimkan DKI ke Setneg beserta rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta.

Namun, hal ini dibantah Ketua TACB yang mengaku belum berkomunikasi dengan Pemprov. Akhirnya, Pemprov mengakui ada kesalahan ketik dan rekomendasi yang dimaksud berasal dari Tim Sidang Pemugaran.

Baca juga: Indonesia berada di industri 4.0, siapkah?

Sampai sekarang, belum kepastian jalur mana yang akan dijadikan sirkuit ePrix Jakarta. Beberapa jalur alternatif lainnya akan ditentukan setelah diskusi lanjutan dengan FIA.

Masalahnya, meski sudah ditunda 3 kali, dan akhirnya direncanakan untuk tahun depan, ketika FIA merilis kalender sementara Formula E 2022. Jakarta tidak terlihat sebagai tuan rumah.

Ternyata, Jakarta masih ada di daftar sementara untuk seri kesembilan, dan keputusannya baru akan ditentukan di pertemuan FIA berikutnya, setelah rencana kunjungan FIA. Meski masih kalah populer dari Formula 1, Formula E sebenarnya memiliki keunikan sebagai kejuaraan balap masa depan.

Apalagi karena Formula 1 sering menuai kritik karena tidak ramah lingkungan, dan meski mesin hybrid sudah digunakan sejak 2014, F1 masih sangat bergantung pada industri migas.

Sedangkan Formula E hampir tidak beremisi atau bising, sehingga dapat digelar di jalan raya dan memberi konsumen gambaran penggunaan EV di jalan sebenarnya.

Perusahaan otomotif pun jadi hobi mengiklankan kampanye citra hijau mereka di ajang ini, menjadikan Formula E balapan dengan kompetitor manufaktur terbanyak. Kejuaraan ini pun semakin populer, karena meningkatnya penonton yang peduli lingkungan.

Namun, sejak pertama kali diselenggarakan, Formula E memang belum pernah untung sekalipun, dan breakeven baru tercapai di musim keenam. Sama dengan Jakarta, banyak yang skeptis bahwa keuntungannya akan sepadan, apalagi jika Pemprov tidak memiliki rencana mitigasi kerugian.

Jakarta bisa belajar dari Montreal ePrix 2017, yang penyelenggaraanya malah merugikan bisnis lokal di sekitarnya. Pasalnya, ukuran penyelenggaraan acara ini sangatlah besar, dan FIA sendiri sudah mendirikan desa kecil dengan fasilitasnya sendiri, termasuk membawa stand makanan yang tidak berasal dari daerah tersebut, sehingga malah merugikan usaha lokal dengan menciptakan kompetisi.

Karena acara ini, Montreal malah menumpuk hutang, belum termasuk biaya yang dikomitmenkan untuk 6 balapan, dan jaminan kredit yang diambil BUMD penyelenggaranya.

Setelah balapan perdana, Montreal akhirnya mengundurkan diri karena gubernurnya menyatakan acara tersebut sebagai kegagalan finansial masif. FIA yang tidak terima, kemudian menuntut Montreal, sehingga menambahkan lagi beban biaya.

Meski FIA juga mengakui adanya resiko bagi tuan rumah, keunikan balapan Formula E di jalan raya terus menarik perhatian banyak kota untuk menawarkan diri.

Kasus Montreal pun mirip dengan permasalahan Jakarta yang disoroti BPK, karena penyelenggaraannya juga ditanggung oleh pemda melalui BUMD terpilih.

Padahal, banyak kota lain mampu menyelenggarakan ePrix tanpa mengeluarkan uang publik karena ditanggung sepenuhnya oleh sponsor.

Meski setiap kota memiliki model finansial berbeda, Jakarta tentunya tidak boleh meniru Montreal, jika penduduknya tidak ingin dibebankan tagihan menumpuk, untuk acara 3 hari yang keuntungannya belum jelas.

Menurut kamu, layakkah Jakarta ePrix diperjuangkan?

Aksa Asri
Aksa Asri Tempatku melamun akan berbagai hal :")

Post a Comment for "Pro dan Kontra Formula E Jakarta: Untung atau Rugi?"