Indonesia Bersikeras Ingin Menjadi Tuan Rumah Olimpiade?
Olimpiade merupakan pertunjukan terbesar di dunia. Namun sekarang, banyak negara malah enggan menjadi penyelenggara karena pemborosan dana.
Tapi tidak bagi Indonesia, yang tetap bersikukuh ingin menjadi tuan rumah Olimpiade 2032, bahkan setelah IOC menunjuk Brisbane sebagai pilihan utama.Kenapa Indonesia masih bersikeras ingin menjadi tuan rumah Olimpiade?
Menyelenggarakan Olimpiade memang membutuhkan komitmen finansial yang besar, apalagi karena selama dua dekade terakhir, dana yang dibutuhkan kerap melebihi lima sampai sepuluh miliar dolar.
Maka, tidak heran jika hanya satu kota yang mampu meraup untung dari Olimpiade, yaitu Los Angeles tahun 1984.
Hal inipun dikarenakan LA dapat mengandalkan infrastruktur yang sudah ada, dan adanya lonjakan pendapatan dari siaran televisi.
Namun, hal ini tidak lagi memungkinkan, karena persentase keuntungan dari siaran televisi yang diambil IOC kian membesar. Untuk negara berpenghasilan menengah, tidak jarang penyelenggaraan mewah Olimpiade turut memperbesar utang negara, dan memotong anggaran layanan masyarakat untuk tahun-tahun berikutnya.
Hal ini sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat besarnya dana yang sudah harus dikeluarkan dari awal proses pencalonan.
Sebenarnya, pembengkakan biaya baru terjadi secara gila-gilaan ketika popularitas Olimpiade meroket di tahun 1960an, dan semua negara mulai berlomba untuk menyelenggarakan Olimpiade terbaik.
Sejak saat itu, semua Olimpiade yang diselenggarakan, terus menelan biaya diatas perkiraan awal. Biasanya, hal ini dikarenakan oleh tidak adanya pengalaman dalam menyelenggarakan Olimpiade sebelumnya.
Sehingga begitu pesta usai dua minggu kemudian, mereka dihadapkan dengan konsekuensi finansial yang ternyata lebih besar daripada manfaat yang dirasakan.
Biaya terbesar tentunya adalah untuk membangun infrastruktur. Namun, karena ukurannya yang masif dan sifatnya yang spesifik, penggunaan fasilitas-fasilitas ini pasca-Olimpiade seringkali sangat terbatas, sehingga malah terbengkalai dan menimbulkan utang.
Padahal, Olimpiadenya hanya berlangsung 2 minggu. Sehingga sekarang, untuk menekan biaya, dan membuat penyelenggaraan Olimpiade lebih berkelanjutan secara finansial, IOC lebih memilih untuk menunjuk kota yang infrastrukturnya memang sudah memadai untuk menjadi tuan rumah.
Berbeda dari proyek infrastruktur lainnya, tenggat waktu pembangunan fasilitas Olimpiade tidak dapat diganggu gugat. Alhasil, anggaran pun membengkak karena jam kerja dan jumlah pekerja yang diperlukan juga meningkat.
Buktinya adalah Olimpiade Montreal 1976, yang anggarannya membengkak lebih dari 440% dan hampir membuat kotanya bangkrut karena utang yang terus menggulung sampai 2006.
Bahkan jika fasilitasnya bisa dimanfaatkan pasca-Olimpiade, biaya perawatan yang harus ditanggung pemerintahnya tetap tidak murah.
Maka, kota seperti PyeongChang lebih memilih untuk merobohkan stadion senilai 100 juta dollar yang hanya digunakan 4 kali selama Olimpiade Musim Dingin 2018. Tapi bagaimanapun, kehormatan, gengsi, dan manfaat menjadi tuan rumah Olimpiade tentu tetap besar.
Maka, tidak heran jika hanya satu kota yang mampu meraup untung dari Olimpiade, yaitu Los Angeles tahun 1984.
Hal inipun dikarenakan LA dapat mengandalkan infrastruktur yang sudah ada, dan adanya lonjakan pendapatan dari siaran televisi.
Namun, hal ini tidak lagi memungkinkan, karena persentase keuntungan dari siaran televisi yang diambil IOC kian membesar. Untuk negara berpenghasilan menengah, tidak jarang penyelenggaraan mewah Olimpiade turut memperbesar utang negara, dan memotong anggaran layanan masyarakat untuk tahun-tahun berikutnya.
Hal ini sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat besarnya dana yang sudah harus dikeluarkan dari awal proses pencalonan.
Sebenarnya, pembengkakan biaya baru terjadi secara gila-gilaan ketika popularitas Olimpiade meroket di tahun 1960an, dan semua negara mulai berlomba untuk menyelenggarakan Olimpiade terbaik.
Sejak saat itu, semua Olimpiade yang diselenggarakan, terus menelan biaya diatas perkiraan awal. Biasanya, hal ini dikarenakan oleh tidak adanya pengalaman dalam menyelenggarakan Olimpiade sebelumnya.
Sehingga begitu pesta usai dua minggu kemudian, mereka dihadapkan dengan konsekuensi finansial yang ternyata lebih besar daripada manfaat yang dirasakan.
Biaya terbesar tentunya adalah untuk membangun infrastruktur. Namun, karena ukurannya yang masif dan sifatnya yang spesifik, penggunaan fasilitas-fasilitas ini pasca-Olimpiade seringkali sangat terbatas, sehingga malah terbengkalai dan menimbulkan utang.
Padahal, Olimpiadenya hanya berlangsung 2 minggu. Sehingga sekarang, untuk menekan biaya, dan membuat penyelenggaraan Olimpiade lebih berkelanjutan secara finansial, IOC lebih memilih untuk menunjuk kota yang infrastrukturnya memang sudah memadai untuk menjadi tuan rumah.
Berbeda dari proyek infrastruktur lainnya, tenggat waktu pembangunan fasilitas Olimpiade tidak dapat diganggu gugat. Alhasil, anggaran pun membengkak karena jam kerja dan jumlah pekerja yang diperlukan juga meningkat.
Buktinya adalah Olimpiade Montreal 1976, yang anggarannya membengkak lebih dari 440% dan hampir membuat kotanya bangkrut karena utang yang terus menggulung sampai 2006.
Bahkan jika fasilitasnya bisa dimanfaatkan pasca-Olimpiade, biaya perawatan yang harus ditanggung pemerintahnya tetap tidak murah.
Maka, kota seperti PyeongChang lebih memilih untuk merobohkan stadion senilai 100 juta dollar yang hanya digunakan 4 kali selama Olimpiade Musim Dingin 2018. Tapi bagaimanapun, kehormatan, gengsi, dan manfaat menjadi tuan rumah Olimpiade tentu tetap besar.
Baca juga: apa yang akan terjadi setelah pandemi berakhir
Melalui Olimpiade, negara tuan rumah bisa menarik perhatian dunia dan wisatawan untuk berkunjung. Olimpiade 2032 yang di incar Indonesia sendiri, diprediksi akan diikuti 11 ribu atlet dari 200 negara, dan ditonton lebih dari 3,2 miliar orang di seluruh dunia.
Olimpiade, juga bisa dimanfaatkan untuk merevitalisasi kota, seperti yang dilakukan Barcelona. Dengan menghabiskan sebagian besar dari anggaran Olimpiade tahun 1992 untuk memperbaiki infrastruktur perkotaan.
Barcelona bertransformasi menjadi kota tujuan wisata terbaik ke-enam di Eropa, dan menguntungkan perekonomiannya. Inilah mengapa Indonesia tetap kukuh ingin menyelenggarakan Olimpiade 2032.
Didukung bukti pencapaian dan kesuksesan dari penyelenggaraan Asian Games 2018, pemerintah tetap optimis bahwa perjuangan belum berakhir. Bahkan jika tidak terpilih, Indonesia tetap akan mencalonkan diri untuk Olimpiade 2036 atau 2040.
Dari awal, pencalonan ini memang dimaksudkan untuk melanjutkan kesuksesan Indonesia, dalam menyelenggarakan Asian Games 2018, yang telah meningkatkan kepercayaan diri dan membuka mata dunia, bahwa Indonesia mampu menjadi tuan rumah event internasional.
Menurut BAPPENAS, penyelenggaraan Asian Games lalu, juga memberikan dampak ekonomi dan sosial yang positif. Termasuk bagi Jakarta yang perekonomiannya meningkat 22 triliun, dan Palembang 18.5 triliun. Karena event ini pula, Jakarta dan Palembang sekarang memiliki berbagai infrastruktur baru.
Meski begitu, penyelenggaraan Olimpiade tetaplah jauh diatas standard Asian Games, sedangkan untuk Asian Games saja, Indonesia masih mengalami berbagai kendala.
Nilai rupiah bahkan sempat terdepresiasi sehingga pengeluaran membengkak, dan panitia akhirnya harus meminta persetujuan Kemenkeu untuk anggaran tambahan.
Apalagi Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada GBK, mengingat saat Asian Games banyak cabang olahraga yang venue-nya tidak memadai, dan akhirnya diprotes.
Jadi, bagaimana cara Indonesia menyiapkan diri untuk menyelenggarakan Olimpiade? Penyelenggaraan PON 2020 di Papua yang berskala nasional saja terbukti terhambat, dan pembangunannya baru mencapai 50% di 2019, meski sudah ditunjuk dari 8 tahun lalu.
Permohonan Gubernur Papua untuk mengundur acara juga ditolak presiden, dan akhirnya PON 2020 harus mengurangi cabang olahraganya, dari 47 menjadi 37 cabang.
Untuk acara sebesar Olimpiade yang eventnya mencapai 300, kompromi seperti ini tidak akan diberikan. Jika keberlangsungan penggunaan fasilitas PON di masa depan sudah mengkhawatirkan, apalagi fasilitas Olimpiade?
Nyatanya, sistem LRT yang dulu dibangun di Jakarta dan Palembang untuk Asian Games kini sepi, dan malah merugi dan terus membebani APBN.
Masalahnya, seringkali, pemerintah yang bertanggung jawab atas pencalonan diri, tidak akan lagi memerintah ketika tagihan dana penyelenggaraannya jatuh tempo.
Terlepas dari kekurangannya, Olimpiade tetaplah acara yang digemari. Walaupun sekarang banyak yang enggan, nyatanya menjadi tuan rumah Olimpiade tetap merupakan mimpi besar bagi Indonesia.
Jadi jika Indonesia nanti gagal, setidaknya sudah ada kebanggaan tersendiri dari upaya yang dilakukan. Hmm, kalau cuma gengsi... percuma, hanya rugi yang memberi beban ke negara dan masyarakat.
Melalui Olimpiade, negara tuan rumah bisa menarik perhatian dunia dan wisatawan untuk berkunjung. Olimpiade 2032 yang di incar Indonesia sendiri, diprediksi akan diikuti 11 ribu atlet dari 200 negara, dan ditonton lebih dari 3,2 miliar orang di seluruh dunia.
Olimpiade, juga bisa dimanfaatkan untuk merevitalisasi kota, seperti yang dilakukan Barcelona. Dengan menghabiskan sebagian besar dari anggaran Olimpiade tahun 1992 untuk memperbaiki infrastruktur perkotaan.
Barcelona bertransformasi menjadi kota tujuan wisata terbaik ke-enam di Eropa, dan menguntungkan perekonomiannya. Inilah mengapa Indonesia tetap kukuh ingin menyelenggarakan Olimpiade 2032.
Didukung bukti pencapaian dan kesuksesan dari penyelenggaraan Asian Games 2018, pemerintah tetap optimis bahwa perjuangan belum berakhir. Bahkan jika tidak terpilih, Indonesia tetap akan mencalonkan diri untuk Olimpiade 2036 atau 2040.
Dari awal, pencalonan ini memang dimaksudkan untuk melanjutkan kesuksesan Indonesia, dalam menyelenggarakan Asian Games 2018, yang telah meningkatkan kepercayaan diri dan membuka mata dunia, bahwa Indonesia mampu menjadi tuan rumah event internasional.
Menurut BAPPENAS, penyelenggaraan Asian Games lalu, juga memberikan dampak ekonomi dan sosial yang positif. Termasuk bagi Jakarta yang perekonomiannya meningkat 22 triliun, dan Palembang 18.5 triliun. Karena event ini pula, Jakarta dan Palembang sekarang memiliki berbagai infrastruktur baru.
Meski begitu, penyelenggaraan Olimpiade tetaplah jauh diatas standard Asian Games, sedangkan untuk Asian Games saja, Indonesia masih mengalami berbagai kendala.
Nilai rupiah bahkan sempat terdepresiasi sehingga pengeluaran membengkak, dan panitia akhirnya harus meminta persetujuan Kemenkeu untuk anggaran tambahan.
Apalagi Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada GBK, mengingat saat Asian Games banyak cabang olahraga yang venue-nya tidak memadai, dan akhirnya diprotes.
Jadi, bagaimana cara Indonesia menyiapkan diri untuk menyelenggarakan Olimpiade? Penyelenggaraan PON 2020 di Papua yang berskala nasional saja terbukti terhambat, dan pembangunannya baru mencapai 50% di 2019, meski sudah ditunjuk dari 8 tahun lalu.
Permohonan Gubernur Papua untuk mengundur acara juga ditolak presiden, dan akhirnya PON 2020 harus mengurangi cabang olahraganya, dari 47 menjadi 37 cabang.
Untuk acara sebesar Olimpiade yang eventnya mencapai 300, kompromi seperti ini tidak akan diberikan. Jika keberlangsungan penggunaan fasilitas PON di masa depan sudah mengkhawatirkan, apalagi fasilitas Olimpiade?
Nyatanya, sistem LRT yang dulu dibangun di Jakarta dan Palembang untuk Asian Games kini sepi, dan malah merugi dan terus membebani APBN.
Masalahnya, seringkali, pemerintah yang bertanggung jawab atas pencalonan diri, tidak akan lagi memerintah ketika tagihan dana penyelenggaraannya jatuh tempo.
Terlepas dari kekurangannya, Olimpiade tetaplah acara yang digemari. Walaupun sekarang banyak yang enggan, nyatanya menjadi tuan rumah Olimpiade tetap merupakan mimpi besar bagi Indonesia.
Jadi jika Indonesia nanti gagal, setidaknya sudah ada kebanggaan tersendiri dari upaya yang dilakukan. Hmm, kalau cuma gengsi... percuma, hanya rugi yang memberi beban ke negara dan masyarakat.
Post a Comment for "Indonesia Bersikeras Ingin Menjadi Tuan Rumah Olimpiade?"