Hancurnya Kekuasaan Ottoman Di Turki Oleh Mustafa Kemal Atatürk
Peristiwa yang terjadi setiap tanggal 10 November tepat pada pukul 9:05 pagi. Pada waktu tersebut, masyarakat Turki berhenti untuk mengenang kematian Mustafa Kemal Atatürk.
Atatürk yang berarti "Bapak Bangsa Turki" merupakan julukan yang disematkan masyarakat Turki pada Mustafa Kemal akan jasanya dalam mendirikan republik tersebut.Namun, Mustafa Kemal Atatürk juga dikenal akan hal-hal lain. Bagi sebagian orang, dia dianggap paling bertanggung jawab akan runtuhnya Kesultanan Ottoman. Bahkan, seorang diktator yang kejam.
Lalu, siapakah sebenarnya Mustafa Kemal Atatürk? Dan apakah perannya dalam mentransformasikan Kekaisaran Ottoman menjadi Republik Turki?
Kenapa Kekaisaran Ottoman Runtuh?
Dalam puncak kekuasaannya, wilayah Kekaisaran Ottoman terbentang dari tiga benua. Yakni Eropa, Asia dan Afrika Utara. Disokong dengan angkatan bersenjata yang kuat, Kekaisaran Ottoman menguasai jalur perdagangan dari Tiongkok dan India hingga Eropa.
Meski kaum non-muslim dianggap sebagai masyarakat kelas dua, kehidupan sosial di Kekaisaran Ottoman relatif sangat stabil dibandingkan dengan Eropa.
Namun, seperti peradaban besar lainnya, Kekaisaran Ottoman mulai mengalami penurunan, khususnya dalam tiga hal.
Biasanya, banyak kerajaan Eropa yang bergantung pada jalur perdagangan yang melewati wilayah Kekaisaran Ottoman. Namun seiring berjalannya waktu, kerajaan-kerajaan Eropa tersebut hendak mengurangi ketergantungan ini.
Alhasil, tidak ada lagi pilihan bagi mereka selain mengembangkan teknologi-teknologi baru serta mencari rute perdagangan alternatif.
Alhasil, teknologi kompas, cross-staff dan perkapalan pun lebih digencar dikembangkan di dunia Barat dibandingkan di Kekaisaran Ottoman.
Perlahan-lahan, Kekaisaran Ottoman mulai kehilangan signifikansinya ketika bangsa-bangsa dapat mendagang langsung melalui Samudra Hindia.
Penemuan benua Amerika pun semakin menguatkan expansi bangsa-bangsa Eropa. Ketika Kekaisaran Ottoman ingin turut menguasai Samudra Hindia dan Atlantik, upaya tersebut digagalkan oleh angkatan laut Eropa yang jauh lebih maju, seperti Portugal dan Spanyol.
Secara sosial, Revolusi Perancis yang terjadi tahun 1789 menyebarluaskan paham liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme Kerajaan Ottoman.
Akibatnya, pemberontakan yang menghendaki kemerdekaan, menjadi semakin marak di provinsi Balkan Ottoman. Sepanjang abad ke-19, berbagai pemberontakan dan tindakan makar terjadi di Bosnia, Albania, Makedonia dan khususnya, di Yunani.
Bahkan Mesir, yang saat itu termasuk negara bawahan Ottoman mencoba untuk memberontak. Dalam bidang politik pun, Ottoman tertinggal dari bangsa Eropa lain dalam hal sentralisasi kekuasaan.
Dengan demikian, otoritas Sultan menjadi semakin tergerus. Kekaisaran Ottoman tidak tinggal diam. Semenjak akhir abad ke-18, berbagai operasi reformasi diberlangsungkan. Khususnya dalam modernisasi militer.
Tak jarang Sultan Ottoman mengundang penasihat militer asing untuk melatih militer Ottoman. Di saat yang sama,Sultan juga sering mengirim perwira-perwira terbaiknya untuk menimba ilmu di kedua negara tersebut.
Ironisnya, hal ini justru menyebarluaskan filsafat-filsafat Barat, khususnya di tubuh militer Ottoman. Sebagian dari mereka kemudian membentuk organisasi bawah tanah bernama Komite Untuk Persatuan dan Progres.
Namun, kemudian dikenal sebagai Turki Muda. Dari organisasi Turki Muda inilah, nasionalisme bangsa Turki mulai bertumbuh. Pada tahun 1908, kelompok Turki Muda melakukan revolusi dan mengubah Kekaisaran Ottoman menjadi monarki konstitusional.
Namun, kemajuan yang diimpikan Turki Muda masih jauh dari kenyataan. Di bawah pimpinan tiga jenderal, yakni: Djemal Pasha, Talaat Pasha, Enver Pasha.
Otoritarianisme dari militer justru semakin merebak. Selain itu, proses turkifikasi di Kekaisaran yang semulanya multikultural, semaking meningkat. Terinspirasi dari Jerman, ketiga perwira tersebut memimpikan kejayaan bangsa Turki.
Dan ketika harapan bagi Kekaisaran Ottoman seakan-akan mulai redup, ada seorang perwira yang tidak mau menyerah begitu saja. Dan perwira inilah yang bernama Mustafa Kemal.
Sebelumnya, Mustafa Kemal sudah memiliki reputasi sebagai perwira yang ulung & berpengalaman baik dalam perang melawan Italia, pertempuran Gallipoli, Palestina, dan masih banyak lagi.
Baginya, kekalahan ini adalah bukti bahwa Kekaisaran Ottoman tidak akan selamat untuk waktu yang lama lagi. Dan perubahan radikal harus segera datang.
Meski kaum non-muslim dianggap sebagai masyarakat kelas dua, kehidupan sosial di Kekaisaran Ottoman relatif sangat stabil dibandingkan dengan Eropa.
Namun, seperti peradaban besar lainnya, Kekaisaran Ottoman mulai mengalami penurunan, khususnya dalam tiga hal.
Biasanya, banyak kerajaan Eropa yang bergantung pada jalur perdagangan yang melewati wilayah Kekaisaran Ottoman. Namun seiring berjalannya waktu, kerajaan-kerajaan Eropa tersebut hendak mengurangi ketergantungan ini.
Alhasil, tidak ada lagi pilihan bagi mereka selain mengembangkan teknologi-teknologi baru serta mencari rute perdagangan alternatif.
Alhasil, teknologi kompas, cross-staff dan perkapalan pun lebih digencar dikembangkan di dunia Barat dibandingkan di Kekaisaran Ottoman.
Perlahan-lahan, Kekaisaran Ottoman mulai kehilangan signifikansinya ketika bangsa-bangsa dapat mendagang langsung melalui Samudra Hindia.
Penemuan benua Amerika pun semakin menguatkan expansi bangsa-bangsa Eropa. Ketika Kekaisaran Ottoman ingin turut menguasai Samudra Hindia dan Atlantik, upaya tersebut digagalkan oleh angkatan laut Eropa yang jauh lebih maju, seperti Portugal dan Spanyol.
Secara sosial, Revolusi Perancis yang terjadi tahun 1789 menyebarluaskan paham liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme Kerajaan Ottoman.
Akibatnya, pemberontakan yang menghendaki kemerdekaan, menjadi semakin marak di provinsi Balkan Ottoman. Sepanjang abad ke-19, berbagai pemberontakan dan tindakan makar terjadi di Bosnia, Albania, Makedonia dan khususnya, di Yunani.
Bahkan Mesir, yang saat itu termasuk negara bawahan Ottoman mencoba untuk memberontak. Dalam bidang politik pun, Ottoman tertinggal dari bangsa Eropa lain dalam hal sentralisasi kekuasaan.
Dengan demikian, otoritas Sultan menjadi semakin tergerus. Kekaisaran Ottoman tidak tinggal diam. Semenjak akhir abad ke-18, berbagai operasi reformasi diberlangsungkan. Khususnya dalam modernisasi militer.
Tak jarang Sultan Ottoman mengundang penasihat militer asing untuk melatih militer Ottoman. Di saat yang sama,Sultan juga sering mengirim perwira-perwira terbaiknya untuk menimba ilmu di kedua negara tersebut.
Ironisnya, hal ini justru menyebarluaskan filsafat-filsafat Barat, khususnya di tubuh militer Ottoman. Sebagian dari mereka kemudian membentuk organisasi bawah tanah bernama Komite Untuk Persatuan dan Progres.
Namun, kemudian dikenal sebagai Turki Muda. Dari organisasi Turki Muda inilah, nasionalisme bangsa Turki mulai bertumbuh. Pada tahun 1908, kelompok Turki Muda melakukan revolusi dan mengubah Kekaisaran Ottoman menjadi monarki konstitusional.
Namun, kemajuan yang diimpikan Turki Muda masih jauh dari kenyataan. Di bawah pimpinan tiga jenderal, yakni: Djemal Pasha, Talaat Pasha, Enver Pasha.
Otoritarianisme dari militer justru semakin merebak. Selain itu, proses turkifikasi di Kekaisaran yang semulanya multikultural, semaking meningkat. Terinspirasi dari Jerman, ketiga perwira tersebut memimpikan kejayaan bangsa Turki.
Namun di tahun 1914, mereka melakukan suatu kesalahan yang sangat fatal. Tanpa pengetahuan sebagian besar kabinet, Enver Pasha melibatkan Kekaisaran Ottoman di Perang Dunia I sebagai sekutu dari Jerman.
Hal ini dilakukan untuk mencari sekutu dalam melawan Rusia, serta mengembalikan kejayaan bangsa Turki. Enver tentu merasa bahwa Blok Sentral akan memenangkan Perang Dunia 1.
Dan tentu, hal ini terbukti salah. Di tahun 1916, militer Ottoman memiliki kekuatan sebesar 800,000 orang.
Pada akhir Perang Dunia I, jumlah itu menjadi hanya tinggal 100,000 orang. Jauh dari kejayaan, Kekaisaran Ottoman justru semakin terpuruk akibat peperangan ini.
Selain kehilangan sebagian besar kekuatan militer dan ekonominya, Kekaisaran Ottoman juga harus mengadakan gencatan senjata yang pada dasarnya, memberikan hak bagi pihak Sekutu untuk menduduki wilayah apapun dalam Kekaisaran Ottoman.
Bahkan di ibukotanya, yakni Istanbul. Selat Bosporus dan Dardanella, rel kereta api, telegraf, dan berbagai pelabuhan strategis juga dikuasai asing.
Sementara pasukan Ottoman harus didemobilisasi. Ottoman sudah kehilangan seluruh wilayahnya di bagian Balkan.
Pada akhir Perang Dunia I, jumlah itu menjadi hanya tinggal 100,000 orang. Jauh dari kejayaan, Kekaisaran Ottoman justru semakin terpuruk akibat peperangan ini.
Selain kehilangan sebagian besar kekuatan militer dan ekonominya, Kekaisaran Ottoman juga harus mengadakan gencatan senjata yang pada dasarnya, memberikan hak bagi pihak Sekutu untuk menduduki wilayah apapun dalam Kekaisaran Ottoman.
Bahkan di ibukotanya, yakni Istanbul. Selat Bosporus dan Dardanella, rel kereta api, telegraf, dan berbagai pelabuhan strategis juga dikuasai asing.
Sementara pasukan Ottoman harus didemobilisasi. Ottoman sudah kehilangan seluruh wilayahnya di bagian Balkan.
Inggris telah menginspirasi revolusi bangsa-bangsa Arab. Dan wilayahnya di Afrika sudah diambil alih.
Pada akhirnya, Kekaisaran Ottoman semakin terhina. Dan tidak dapat mengelak dari imperialisme Barat.
Yang lebih mengenaskan lagi, ketiga jenderal Turki Muda tersebut malah melarikan diri di tengah kekacauan ini. Dan Sultan Ottoman hanya berharap bahwa penerimaan ini akan mencegah agresi yang lebih besar dari Barat.
Pada akhirnya, Kekaisaran Ottoman semakin terhina. Dan tidak dapat mengelak dari imperialisme Barat.
Yang lebih mengenaskan lagi, ketiga jenderal Turki Muda tersebut malah melarikan diri di tengah kekacauan ini. Dan Sultan Ottoman hanya berharap bahwa penerimaan ini akan mencegah agresi yang lebih besar dari Barat.
Dan ketika harapan bagi Kekaisaran Ottoman seakan-akan mulai redup, ada seorang perwira yang tidak mau menyerah begitu saja. Dan perwira inilah yang bernama Mustafa Kemal.
Sebelumnya, Mustafa Kemal sudah memiliki reputasi sebagai perwira yang ulung & berpengalaman baik dalam perang melawan Italia, pertempuran Gallipoli, Palestina, dan masih banyak lagi.
Baginya, kekalahan ini adalah bukti bahwa Kekaisaran Ottoman tidak akan selamat untuk waktu yang lama lagi. Dan perubahan radikal harus segera datang.
Mustafa Kemal Merebut Kekuasaan Ottoman
Pada tahun 1918, dunia dilanda dengan euforia
akan berakhirnya Perang Dunia I. Namun, dibalik kegirangan ini, mereka yang kalah, seperti kekaisaran Ottoman, harus membayar harga yang mahal.
Dengan perjanjian gencatan senjata di Moudros,
wilayah Ottoman yang dulu terbentang hingga 3 benua, dipecah belah oleh Inggris, Perancis, Italia, Armenia, Yunani dan masih banyak lagi.
Kekaisaran yang dulunya berjaya itu pun, kini hanya tinggal kenangan. Meskipun Ottoman telah dibuat lelah karena Perang Dunia 1, seorang perwira Ottoman bernama Mustafa Kemal merasa bahwa tidak ada lagi solusi
selain kembali bertempur dengan Sekutu,
demi kemerdekaan.
Pertama-tama, kita harus membedakan
antara aspirasinya Mustafa Kemal, serta pendahulunya, yakni Turki Muda.
Kelompok Turki Muda di bawah Enver Pasha,
sangat mendambakan akan kejayaan Kekaisaran Ottoman. Sedangkan Mustafa Kemal
hanya mengingini kemerdekaan bagi bangsa Turki, khususnya di daerah Anatolia.
Mustafa Kemal merasa bahwa ambisi teritorial yang tidak dapat dikontrol, justru dapat menghancurkan kerajaan. Bahkan masa depan bangsa Turki.
Namun, Anatolia pun sedang diduduki oleh pasukan-pasukan asing. Untuk mengusir pasukan pendudukan tersebut, Mustafa Kemal perlu membangun kekuatan nasional yang kala itu sedang terpuruk.
Selama tahun 1919, Mustafa Kemal mengadakan sebuah kongres di Erzurum, dan dengan cepat dipilih sebagai ketua. Kongres ini menghasilkan resolusi untuk membentuk pemerintahan paralel apabila Istanbul tidak dapat memperjuangkan kemerdekaan dan persatuan bangsa.
Sebulan kemudian pada tanggal 4 - 11 September, kongres diberlakukan lagi di Sivas
untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Turki.
Lalu, pada tanggal 23 April 1920, Grand National Assembly dibentuk oleh Mustafa Kemal di Ankara. Seiring berjalannya waktu, pusat politik seakan terbagi menjadi dua. Satu di Istanbul. Dan satu lagi di Ankara.
Pada saat ini, belum juga ada pertentangan signifikan di antara keduanya. Namun, pada tanggal 10 Agustus 1920, pemerintahan dari Istanbul, utusan dari Sultan Mehmed VI, menandatangani Persetujuan Sevres.
Perjanjian Sevres dinilai jauh lebih bengis daripada perjanjian-perjanjian sebelumnya.
Pasalnya, wilayah Kekaisaran Ottoman akan semakin dipecah-belah oleh pasukan pendudukan.
Banyak juga yang menilai bahwa perjanjian ini
tidak jauh berbeda dari Perjanjian Versailles, yang diterapkan pada Jerman di akhir Perang Dunia I.
- Satu, Perancis akan menduduki Suriah, Cilcia, dan Tenggara Anatolia.
- Dua, Yunani akan menduduki Izmir.
- Tiga, Italia menduduki Barat Daya Anatolia.
- Empat, Armenia mengambil Anatolia Timur.
- Lima, Inggris menguasai Palestina dan Jordan.
Dan Ottoman? Dia hanya akan mendapatkan
porsi yang sangat kecil. Seperti yang diduga, perjanjian ini hanya semakin memantik amarah pemerintah dari Ankara, yang memanggil perjanjian ini sebagai perjanjian pengkhianat.
Dengan kombinasi diplomasi serta militer Mustafa Kemal berhasil mengorganisasikan kekuatan tersisa untuk mengalahkan seluruh sisa-sisa pendudukan asing di Turki.
Pertama, dia membuat perjanjian dengan Uni Soviet untuk memberikan bantuan persenjataan dan finansial bagi militer Turki. Lalu, dia mulai mengalahkan musuh yang paling lemah terlebih dahulu. Yakni, Armenia.
Dengan dikalahkannya Armenia, Mustafa dapat mengkonsentrasikan kekuatannya di bagian barat Anatolia untuk melawan Yunani. Dalam mempersiapkan pertempurannya dengan Yunani, Mustafa pun mengirim utusan-utusan
untuk berdiplomasi dengan Inggris, Perancis, dan Italia.
Tujuan dari perundingan ini adalah untuk meyakinkan mereka agar tidak membantu Yunani saat pertempuran itu terjadi. Berkat diplomasi ini, Mustafa dapat mengalahkan Yunani di pertempuran Izmir pada tahun 1922.
Kemenangan demi kemenangan, telah memaksa Sekutu untuk berdamai dengan Turki pada Persetujuan Lausanne. Kemenangan gemilang ini semakin menaikkan pamor Mustafa Kemal.
Bahkan pada November 1922, ketika dia memusnahkan Kesultanan Ottoman, hampir tidak ada perlawanan signifikan.
Pada 29 Oktober 1923, Republik Turki diumumkan oleh Mustafa Kemal, sebagai Presiden pertama, dan Ismet Inonu sebagai Perdana Menteri.
Mustafa Kemal adalah seorang yang sangat
mengagumi filsafat sekularisme dari Perancis.
Maka dari itu dia melihat bahwa peninggalan budaya-budaya Ottoman di masa lalu, hanyalah sebagai hambatan bagi modernisasi Republik Turki.
Sebagai solusi, dia menggalakkan upaya Westernisasi, atau mengubah budaya Republik Turki agar serupa dengan budaya-budaya di Eropa.
Hanya saja upaya ini tidak dilakukan secara perlahan-lahan maupun demokratis. Tetapi, secara represif terhadap seluruh populasi Turki kala itu.
Tradisi berabad-abad Ottoman seperti topi Fez, diganti dengan topi ala Barat. Alfabet Arab diganti menjadi Latin. Dan masih banyak lagi. Namun, keputusan yang paling besar adalah menghapuskan kekhilafahan Utsmaniyah dari Republik Turki pada tahun 1924.
Keputusan ini memicu pemberontakan di tahun 1925 oleh Sheik Said. Meski dikalahkan, pemberontakan ini malah semakin mendorong Atatürk untuk semakin bersikap otoriter. Oposisi diberangus, dan partai politik yang bertentangan dengan cepat dibubarkan setelah semakin populer.
Alhasil, partai yang didirikannya, yakni Partai Rakyat, telah menjadi satu-satunya partai yang ada di Turki selama waktu yang lama. Memang, di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal, ia lepas dari penjajahan. Namun, ada begitu banyak hal negatif yang diakibatkan olehnya.
Ironisnya, harapan Mustafa Kemal akan demokrasi di Turki, serta kesetaraannya dengan negara-negara Eropa, masih jauh dari kenyataan. Dan demokrasi yang cacat ini, akan terus menghantui Turki. Hingga sekarang.
Sumber:
- Men of Order: Authoritarian Modernization under Attaturk and Reza Shah (karya Touraj Atabaki dan Erik J. Zurcher)
- Turkey: A Modern History (karya Erik J. Zurcher Turkish Foreign Policy Since 1774 (karya William Hale)
- History of the Ottoman Empire and Modern Turkey 1808 - 1975 (Karya J. Shaw, Ezel Kuraw Shaw)
- Hipotesa
- Turkish Foreign Policy Since 1774 (karya William Hale) 4.
Post a Comment for "Hancurnya Kekuasaan Ottoman Di Turki Oleh Mustafa Kemal Atatürk"