Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjauh Untuk Menjaga


I Love you, can I keep you? Pernyataan sekaligus pertanyaan yang mewakili perasaanku kala itu. Dan perasaan itu masih sama sampai sekarang. Yang beda mungkin arti dari cinta itu sendiri. Katanya cinta tak harus memiliki, tapi kataku kalau bisa kenapa tidak.

Menjauh bukan berarti membenci, tapi tanda aku sayang kamu. Aku tidak mau kamu ternodai dengan jeratan kepalsuan cinta. Cinta yang menodai perintah Allah. Karena kita belum ada ikatan dan belum bisa bersama.

Namun, sampai kapan? Maunya sih sampai akad. Tapi, kalau Allah nggak mau? Pasti sakit rasanya, menunggu itu berat. Jadi, jangan menunggu biarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Mending fokus perbaiki diri, menjadi lebih baik tiap harinya. Semoga rencana kita berjalan sesuai rencana Allah. Aamiin :)

Dulu, kita tau kalau aktivitas ini dilarang Allah. Tapi, tetap kita jalani ya. Ngikutin perasaan yang memang sulit untuk dikontrol. Kita nggak pacaran, tapi rasanya mirip orang pacaran apalagi nggak ketemu dan menjaga jarak. Walau demikian, kita tahu scenario setan juga tidak ada tanding.  

Sudahlah, jadikan masa-masa itu kenangan dan pembelajaran. Masih ada masa depan yang harus kita kejar. Bukankah kamu pernah bilang mau jadi dokter. Cita-cita yang mulia dan nggak gampang lho itu. Eh lupa, bagi Allah semuanya kan mudah. Sisa kita ikut maunya Allah agar urusan kita selalu dilancarkan.

Sabar ya. Sabar itu sulit, makanya hadiahnya surga. Sabar menjaga pandangan, sabar menjaga hati, sabar menata diri menjadi lebih baik dijalan Allah. Kita sebagai hamba Allah cukup menghamba dengannya.

Cinta terbaik bukan sekadar mencintainya, tapi mencintai penciptanya. Jika pemilik perasaan saja kita abaikan, bagaimana Allah menaruh rasa dengannya. Menjauh adalah solusi tepat bagi kita yang belum siap mendatangi rumah mertua.

Daripada terus terusan maksiat yang memang enak tapi sementara, mending taat yang berefek jangka panjang. Kita memang sering terbuai dengan hal yang sementara lalu melupakan apa akibat dimasa yang akan datang.

Mau Allah dan mau kita kadang bertolak belakang, kita sering dilema dengan hal demikian. Kita tahu maunya Allah haram, tapi mau kita nggak gitu, serasa ngatur banget ya. Ini bukan hanya terjadi saat ini, tapi di masa Rasulullah juga pernah terjadi. Abu Sufyan yang kala itu belum memeluk islam sedang melakukan perjalanan dagang menuju Syam.

Rombongan Abu Sufyan tak hanya membawa dagangan untuk dijual, tapi juga membawa sakit hati buat kaum muslim. Sakit hati? Ya, bagaimana nggak sakit hati melihat barang-barang yang dijual oleh rombongan mereka adalah barang yang dulunya merupakan rampasan kaum muslim yang ditinggal di Makkah saat hijrah ke Madinah. Kaum Kafir Quraisy lalu mengambil dan itulah yang hendak dijual.

Sepulangnya dari Syam, rombongan dagang Abu Sufyan membawa untung yang banyak. Para Muhajirin (penghijrah Makkah) tidak tinggal diam dan membuat perhitungan kepada mereka, karena sejatinya itu adalah harta mereka yang dirampas. Masa sih kita terus berharap kepada saudara kaum Anshar di Madinah.

“Kita cegat mereka lalu ambil hak kita kembali” Perintah Rasulullah. Kaum Muhajirin begitu semangat apalagi sejalan dengan apa yang dimau Rasulullah. Mumpung kafilah dagang itu jumlahnya tidak terlalu banyak. Lebih mudah untuk menang, pikirnya.

Namun, rencana penghadangan mereka terdengar oleh Abu Sufyan. Sesegera mungkin dia mengabari Abu Jahal untuk mengirim bala bantuan. Awalnya memang sedikit, tapi karena rencananya ketahuan, maka Abu Jahal dan Utbah bin Rabi’ah menyiapkan 1000 orang yang bisa datang membantu Abu Sufyan.

Ternyata rencana yang awalnya menghadang untuk mengambil haknya, berubah menjadi dilemma. Perasaan galau pun mulai terbit, bertabrakan dengan kemauan Allah dan sahabat. Maunya sahabat hanya berhadapan dengan Abu Sufyan and genk, tapi nyatanya jauh dari ekspektasi. Maunya Allah juga beda. Galaunya sahabat yang mungkin sama dengan galau kita saat ini, kemudian diabadikan Allah dalam Al-Quran.

Bingung. Galau. Dilema. Karena mau kita dan maunya Allah tak sama. Awalnya hanya ingin berhadapan dengan Abu Sufyan, kenyataanya Abu Jahal ada bekingan. Seribu pasukan siap tempur, bersenjata. Bukan harta, tapi kematian yang didepan mata. 

Dari sisi kaum muslim hanya kisaran 300 yang siap tempur. Hitungan logika, mudah untuk ditebak pemenangnya siapa. Yang menjadi dilemma karena ini perintah Allah, mau tidak mau harus datang untuk menghadapi gerombolan pasukannya.

Mauku dan maumu kita tetap bersama, tapi tidak dengan mau Allah. Kata Allah dan rasulnya hubungan kita jauh dari kata berkah. Bagaimana mau berkah, namanya aja maksiat. Nggak ada kan maksiat karena Allah. Meskipun kita rasa kurang senang, tapi kembali lagi hati kita harus kala dengan ketetapannya.

Nyaman terburuk adalah nyaman dengan maksiat.

Kalau kita betul-betul mencintai Allah, pasti Allah selalu dihati. Nggak seru pastinya kalau hidup lurus-lurus saja. Itulah kalau ada Malaikat, ada Iblis. Ada Nabi Musa, juga ada Firaun. Ada Rasulullah, ada Abu Jahal. Kembalinya juga 2 tempat, kalau bukan surga pasti neraka.

Setan selalu punya cara membisikkan godaan halus yang membuat hati kita tersentuh. Berterimakasihlah kepada hati yang tetap menjaga perintah Allah. Selalu sabar untuk menahan rindu dan perasaan cinta untuk tetap taat kepada Allah.

Baca juga: Menjaga Hati Karena Allah

Jika cinta sejati itu cinta yang diridhoinya, maka putuskan satu hal dan bertekad melakukan revolusi cinta. Kita harus kembali pada fitrah cinta, jangan sampai kita rusak fitrahnya. Eh, kita sudah terlalu jauh membahas perkara cinta dengannya, tapi sudah berhasilkah kita mencintai diri sendiri?

Revolusi cinta bermula dari mencintai diri sendiri, baru mencintai dia. Nggak usah berpikir macam-macam soal hidup berdua dengannya di masa depan, cukup berpikir tentang kita. Tanda kita sudah mencintai diri sendiri adalah membebaskan diri dari jeratan kepalsuan, yakni maksiat.

Mencintai diri sendiri bukan perkara sederhana, karena cinta bukan hal sederhana. Cinta adalah perjuangan, sekalipun mencintai diri sendiri. Saat belum mencintai diri, lantas bagaimana mau mencintai orang lain. Maka, cinta memang harus diperjuangkan. Mulai dari diri sendiri, saat ini.


Post a Comment for "Menjauh Untuk Menjaga"